Waktu 4tahun 10bulan itu kalo harus dibikin seri bukunya kayaknya gak akan muat dengan 4buku aja. Hhe. Cerita pertama kenalnya, pertama dia nelpon, pertama dia bilang sayang, pertama diselingkuhin, pertama berselingkuh, pertama dikasih barang, pertama ngomong sama calon mertua, pertama dimarahin calon kaka ipar, dan pertama-pertama lainnya yang bakal ngabisin ribuan lembar kertas yang amat sangat berkesan sebagai tanda berwarnanya kehidupan aku. Terimakasih banget buat dia yang selalu membuat hidup aku berwarna, selalu membuat hati aku terbolak-balik, selalu membuat mood aku naik-turun, selalu membuat aku malas belajar atau malah sebaliknya, selalu membuat aku sangat semangat belajar. Dari dia aku belajar kasih sayang, kasih sayang yang tulus, bahwa memberi tak harus menerima, bahwa ikhlas berbuah kebahagiaan, bahwa menyayangi adalah suatu kewajiban, bahwa Alloh adalah Maha segalanya, dan bagi aku dialah segalanya setelah aku menyayangi Alloh dan kedua orang tuaku.
Tapi hanya ada satu hal yang paling aku benci dari dia, dia itu terlalu menyayangi aku. Aku hanya ingin dicintai secara sederhana. Aku berasa tak berhak menerima perlakuan seperti ini dari makhluk sempurna seperti dia. Aku sadari akhir-akhir ini, rasa yang aku miliki untuknya malah cenderung seperti mengidolakannya padahal kita jarang sekali bertatap muka. Mengagung-agungkan kesempurnaanya, sekalipun aku diajarkannya bahwa tak ada manusia yang sempurna. Namun dimataku dialah pengecualiannya. Dia begitu sempurna, baik fisik maupun hati. Karena itu juga aku merasa terlalu berharap banyak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sempurna sesempurna dia. Ternyata Alloh berkehendak lain, ‘Alloh tak selalu memberi apa yang kita inginkan, tapi Alloh selalu memberi apa yang kita butuhkan’. Begitu juga dengan hubungan aku bersama dia. Jarak yang memisahkan membuat semuanya terasa begitu berat untuk diakhiri. Aku masih memahami kekurangan intensitas pertemuan antara aku dengan dia ketika kita masih dipisahkan oleh jarak. Namun aku merasa sangat dibodohi ketika aku kini berada sekota dengan dia, berada dekat dengan kehidupan dia terdahulu. Ketika aku menapakkan kaki dikota yang sering dia ceritakan dulu, aku malah menemukan kekosongan. Kepindahan dia dari kota ini membuat aku sangat terpukul. Membuat aku sangat membenci dia. Dia lah motivator terbesar buat aku setelah cita-citaku untuk bertahan dikota ini sekalipun jauh dari mama dan papa.
Takdir berkata lain, semua yang terbayang akan terasa indah kini malah terasa sangat memilukan hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengakhiri episode kehidupanku dengan dia. Lelaki sebaya pertama yang aku sayangi setulus hati, lelaki yang telah menjanjikan akan menjadi ayah dari anak-anaku kelak. Setumpuk sesal masih tersimpan, penyesalan bukan karena menyudahi hubungan itu, melainkan penyesalan dari ketidakadilan yang belum berpihak padaku dan dia.
Kini aku sedang menatapi seikat mawar merah, putih dan kuning yang aku temukan didepan kamarku. Aku meyakini bunga itu dari dia. Bunga yang dulu dia janjikan akan dia berikan ketika aku untuk pertama kalinya akan bertemu dengan dia dikota yang sedang aku diami sekarang ini. Aku bertahan dikota ini dengan seribu bayangan dia yang tak akan pernah hilang. Aku berharap dia akan kembali membawa serpihan ceritanya bersamaku dan melanjutkan semua yang sempat tertunda. Kini hanyalah pesan-pesan yang datang secara tiba-tiba dan malah pending ketika aku membalasnya yang menemani hari-hariku akhir-akhir ini.
Aku mengaguminya dengan segala kemisteriusannya.